Sabtu, 06 Juni 2009

Dinamika Politik Hukum Islam di Indonesia

Peralihan kekuasaan dan pemerintahan Orde Lama kepada Orde Baru ditandai dengan turunnya Soekarno dan kursi kepresidenan pasca kudeta G30/S/PKI pada tahun 1965. Peristiwa politik tersebut telah berimplikasi kepada munculnya krisis politik yang cukup menegangkan berupa gerakan massa yang menuntut pembubaran PKI serta tuntutan pembenahan sistem politik dan pemulihan keamanan negara.
Puncaknya terjadi pada tahun 1966, di mana pada saat itu situasi dan stabilitas dalam negeri Indonesia semakin carut marut. Pada gilirannya Soekarno mengeluarkan Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) kepada Jenderal Soeharto yang pada intinya berisi perintah untuk pemulihan kamanan dan ketertihan nasional, konsolidasi semua aparat militer dan sipil, serta pelaporan atas segala tugas dan tanggung jawab surat perintah tersebut. Proses politik dalam negeri saat itu berjalan sangat cepat. Jenderal Soeharto secara langsung maupun tidak langsung menjadi pemegang kendali atas setiap proses politik. Ia mengambil langkah-langkah yang diperlukan bagi percepatan dan pemulihan kondisi sosial, politik dan ekonomi saat itu, hingga digelarnya Sidang Umum MPRS pada bulan Juni - Juli 1966.
Ketetapan MPRS No, TX/MPRS/1966 menjadi landasan konstitusinal bagi Supersemar dan sekaligus digelarnya Sidang Umum MPRS tahun 1967 berhasil melengserkan Soekarno dan kursi kepresidenan berupa pencabutan mandat presiden oleh MPRS dalam Tap MPRS No. XXXIII/MPRS/1967. Hal ini telah memuluskan jalan bagi Soeharto untuk naik ke puncak kekuasaan yakni diangkat menjadi presiden kedua yang ditetapkan dalam ketetapan MPRS No.XLITI/MPRS/1968.
Lahirnya Orde Baru yang didukung oleh kalangan pelajar dan mahasiswa yang tergabung dalam Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) dan Kesatuan Aksi Pemuda dan Pelajar Indonesia (KAPPI) yang para anggotanya mayoritas beragama Islam. Dapat dikatakan, mereka menjadi ujung tombak runtuhnya pemerintahan Orde Lama. Pada awal Orde Baru banyak dilakukan perubahan terhadap kecenderungan birokrasi yang tidak bertanggungjawab yang warisan Orde Lama. Dengan memakai format politik yang berporos pada eratnya hubungan militer dan teknokrat untuk tujuan melaksanakan pembangunan dan mewujudkan pemerintah yang stabil dan kuat. Kekuatan militer dan birokrasi merupakan mesin politik untuk menata kehidupan sosial dan politik masyarakat, sehingga Orde Baru melalui dua komponen tersebut menjadi kekuatan politik tunggal di Indonesia.
Adapun format politik yang tercipta antara lain: Pertama, peranan birokrasi sangat kuat karena dijalankan oleh militer setelah ambruknya demokrasi terpimpin, sehingga ia menjadi satu-satunya pemain utama di pentas politik nasional. Kedua, upaya membangun sebuah kekuatan organisasi sosial politik sebagai perpanjangan tangan ABRI dan pemerintah dalam wujud lahirnya Golkar sebagai mayoritas tunggal organisasi politik di masa Orde Baru. Ketiga, penjinakan radikalisme dalam politik melalui proses depolitisasi massa, seperti menerapkan konsep floating mass dan NKK/BKK di lingkungan pendidikan tinggi. Keempat, lebih menekankan pendekatan keamanan (Security Approach) dan pendekatan kesejahteraan (Welfare Approuch) dalam pembagunan sosial politik; Kelima, menggalang dukungan masyarakat melalui organisasi-organisasi sosial dan kemasyarakatan yang berbasis korporatis.
Persentuhan Islam dan politik pada masa Orde Baru sesungguhnya telah diawali sejak Orde Baru menerapkan kebijakan modernisasi, di mana stigma perkembangan pola pikir dan cara pandang bangsa Indonesia serta proses transformasi kultural dan perubahan sosial lebih banyak mengadopsi apa yang pernah terjadi di negara-negara Barat. Kiblat pembangunan di Indonesia yang sebelumnya mengarah ke Eropa Timur berbalik arah ke Eropa Barat dan Amenka. Banyak didapatkan kalangan cendekiawan dan kalangan intelektual mulai akrab dengan pemikiran-pemikiran Barat.
Sementara itu, bagi kalangan Islam modernisasi ibarat dilema karena dihadapkan kepada dua pilihan, yakni apabila mendukung modernisasi ala Orde Baru berarti sama saja mendukung Barat, sedangkan pada sisi lain, apabila menolak berarti umat Islam akan kehilangan kesempatan untuk berperan aktif dalam program pembangunan nasional. Sikap pro-kontra di kalangan mayoritas umat Islam dalam menanggapi modernisasi melahirkan tiga pola berikut: Pertama, pola apologi, yakni suatu bentuk sikap penolakan kalangan Islam terhadap segala nilai-nilai yang berakar pada wacana modernisasi. Bahkan pola pertama ini berasumsi bahwa modernisasi identik dengan westernisasi dan sekularisasi; Kedua, pola adaptif, yakni suatu bentuk sikap menerima sebagian nilai-nilai modernisasi yang tidak bertentangan dengan ajaran Islam; Ketiga, pola kreatif, yakni suatu bentuk sikap dialogis yang lebih mengutamakan pendekatan intelektual dalam menanggapi modernisasi. Dan ketiga pola tersebut, tampaknya pola ketiga menjadi lebih dominan karena pendekatan intelektual yang dikembangkan oleh kalangan modernis dipandang lebih representatif untuk membangun tatanan Islam modern di Indonesia. Hal ini terjadi sebagai antitesa dari kalangan Islam konservatif yang lebih mengarah kepada upaya ideologisasi dan depolitisasi Islam secara formal yang mengakibatkan lahirnnya ketegangan dengan rezim Orde Baru.
Pola pertautan politik yang serba provokatif dianggap bukan jalan terbaik bagi islamisasi di Indonesia, mengingat penduduk Indonesia tidak seluruhnya umat Islam yang dapat disatukan dalam bingkai sistem politik keormasan. Pada gilirannya, lahirlah gagasan Islam kultural sebagai jalan tengah bagi umat Islam untuk tetap memainkan perannya daam pentas politik nasional Paling tidak, kebenaran akan pendekatan ini mulai membuahkan hasil berupa terbukanya jalan bagi umat Islam menuju islamisasi politik Orde Baru di penghujung tahun 1970-an.
Kebijakan-kebijakan politik Orde Baru yang menempatkan Islam dalam posisi marjinal di pentas politik nasional pada gilirannya telah melahirkan berbagai ketegangan antara Islam dan negara. Sejarah telah mencatat hahwa dinamika hubungan Islam dan negara pada masa Orde Baru mengalami pergeseran yang bersifat antagonistik, resiprokal kritis sampai akomodatif. Hubungan antagonistik (1966-1981) mencerminkan pola hubungan yang hegemonik antara Islam dengan pemerintah Orde Baru. Keadaan negara yang kuat memainkan pengaruh ideologi politik sampai ke tingkat masyarakat bawah telah berlawanan dengan sikap reaktif kalangan Islam sehingga melahirkan konflik ideologi dan sekaligus menempatkan Islam sebagai oposisi. Kemudian pada tahap hubungan resiprokal kritis (1982- 1985) kaum santri berupaya merefleksikan kembali cara pandang mereka dan merubah dirinya untuk menampilkan sisi intelektualitas dalam percaturan politik Indonesia. Pada tahap ini pilihan-pilihan rasional-pragmatis telah melahirkan saling pengertian akan kepentingan Islam dan pemerintahan Orde Baru. Dalam kurun waktu 1982-1985 sebagian kalangan Islam mulai menerima asas tunggal dalam landasan ideologi negara serta ormas dan orpol. Sedangkan hubungan akomodatif (1985-2000) hubungan Islam dan negara terasa lebih harmonis di mana umat Islam telah masuk sebagai bagian dan sistem politik elit dan birokrasi, Pola hubungan akomodatif ini sangat terasa berupa tersalurkannya aspirasi umat Islam untuk membangun tatanan sosial, politik, ekonomi dan budaya yang berakar pada nilai-nilai luhur agama (Islam) serta budaya bangsa yang dibingkai dalam falsafah integralistik Pancasila dan UUD 1945.
Tersendat-sendatnya aspirasi umat Islam di dalam mendapatkan hak-hak perundang-undangan dan hukum tampak ketika dilegislasikannya UU No.1/1974 tentang Perkawinan yang kemudian disusul dengan PP No.9/1975. Selanjutnya ditetapkan pula ketentuan tentang Wakaf dalam PP No.28/1977. Tidak berhenti sampai di situ, umat Islam di tingkat legislatif kembali mempersoalkan faham/aliran kepercayaan dalam UUD 1945 sebagai agama resmi yang diakui negara. Dan yang paling krusial adalah kehendak umat Islam untuk dilegislasikannya Rancangan Undang-Undang Peradilan Agama (RUUPA) bagi penyelenggaraan peradilan Islam di Indonesia.
Pada pola hubungan resiprokal kritis, umat Islam menyadari perlunya strategi untuk menempuh jalur struktural-birokrat pada sistem kenegaraan. Pada tahapan ini, kalangan cendekiawan dan politisi Islam harus berani bersentuhan langsung dengan pemerintahan Orde Baru. Melalui pendekatan strukturai-fungsional, umat Islam relatif mengalami kemajuan pesat berupa masuknya kalangan Islam dalam segala sistem pemerintahan sipil mulai dari pusat hingga daerah, dan sekaligus memperkokoh kekuasaan Orde Baru dalam bingkai akumulasi sipil Islam dan militer.
Pada pola akomodatif, sebagai antitesa dan pola hubungan sebelumnya Islam hampir menguasai seluruh sendi-sendi pemerintahan dan negara. Tercatat realitas sosial politik umat Islam demikian penting memainkan peranannya di pentas nasional. Kehadiran ICMI, 8 Desember 1990, diyakini sebagai tonggak baru menguatnya islamisasi politik di Indonesia, dan semakin tampak ketika diakomodirnya kepentingan syari’at Islam melalui UU No.7/1989 tentang Peradilan Agama, sekaligus menempatkan Peradilan Agama sebagai lembaga peradilan negara yang diatur dalam UU No.14/1970 tentang Pokok Pokok Kekuasaan Kehakiman, disusul dengan UU No.10/1998 tentang Perbankan (pengganti UU No.7/1992), UU No.38/ 1999, tentang Zakat, Inpres No.1/1991.tentang Penyebarluasan KHI   Artikulasi dan partisipasi politik kalangan umat Islam demikian tampak mulai dari pendekatan konflik, pendekatan resiprokal kritis sampai pendekatan akomodatif. Maka dapat diasumsikan untuk menjadikan Islam sebagai kekuatan politik hanya dapat ditempuh dengan dua cara yakni secara represif (konflik) dan akomodatif (struktural-fungsional). Paling tidak ini merupakan sebuah gambaran terhadap model paradigma hubungan antara Islam dan negara di Indonesia. Gagasan Transformasi Hukum Islam di Indonesia
Gagasan transformasi hukum Islam dapat dilihat dan segi ilmu negara. Dijelaskan bahwa bagi negara yang menganut teori kedaulatan rakyat, maka rakyatlah yang menjadi kebijakan politik tertinggi. Demikian pula negara yang berdasar atas kedaulatan Tuhan, maka kedaulatan negara/kekuasaan (rechtstaat) dan negara yang berdasar atas hukum (machtstaat), sangat tergantung kepada gaya politik hukum kekuasaan negara itu sendiri.
Rousseau misa1nya dalam teori kedaulatan rakyatnya mengatakan bahwa tujuan negara adalah untuk menegakkan hukum dan menjamin kebebasan dan para warga negaranya. Pendapat Rousseau tersebut mempunyai pengertian bahwa kebebasan dalam batas-batas perundang-undangan. Sedangkan undang-undang di sini yang berhak membuatnya adalah rakyat itu sendiri. Atas dasar itu, Rousseau berpendapat bahwa suatu undang-undang itu harus dibentuk oleh kehendak umum (volunte generale), di mana seluruh rakyat secara langsung megambil bagian dalam proses pembentukan undang-undang itu. Dalam konteks kenegaraan di Indonesia kehendak rakyat secara umum diimplementasikan menjadi sebuah lembaga tinggi negara yaitu Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), serta Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Jadi, munculnya pemahaman tertulis bahwa eksekutif membuat sebuah rancangan undang-undang sebelum ditetapkan bagi pemberlakuannya, terlebih dahulu harus disetujui DPR.
Ketika Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945, sebelumnya telah terjadi silang pendapat perihal ideologi yang hendak dianut oleh Negara Indonesia. Gagasan Prof. Dr. Soepomo tentang falsafah negara integralistik dalam sidang BPUPKI tanggal 13 Mei 1945 telah membuka wacana pluralisme masyarakat Indonesia untuk memilih salah satu di antara tiga faham yang ia ajukan, yaitu; (1) Faham Individualisme: 2) Faham Kolektifisme; dan (3) Faham Integralistik. Dalam sejarah Indonesia, para politisi menghendaki faham integralistik sebagai ideologi negara dan Pancasila dan UUD 1945 kemudian disepakati sebagai landasan idiil dan landasan struktural Negara Kesatuan Republik Indonesia. Implikasiya secara hukum setiap bentuk perundang-undangan diharuskan lebih inklusif dan harus mengakomodasikan kepentingan umum masyarakat Indonesia. Inilah yang pada gilirannya akan melahirkan konflik ideologis antara Islam dan negara
Undang-undang dinyatakan sebagai peraturan perundang-undangan yang tertinggi, di dalamnya telah dapat dicantumkan adanya sanksi dan sekaligus dapat langsung berlaku dan mengikat masyarakat secara umum. Istilah undang-undang dalam anti formil dan materil merupakan terjemahan dan wet in formelezin dan wet in materielezin yang dikenal Belanda. Di Belanda undang-undang dalam anti formil (wet in formelezin) merupakan keputusan yang dibuat oleh Regering dan Staten Generaal bersama-sama (gejamenlijk) terlepas apakah isinya peraturan (regeling) atau penetapan (beschikking). Ini dilihat dari segi pembentukannya atau siapa yang membentuknya.
Sedangkan undang-undang dalam arti materil (wet in materielezin) adalah setiap keputusan yang mengikat umum (algemeen verbidende voorschnften), baik yang dibuat oleh lembaga tinggi Regering dan Staten Generaal bersama-sama, maupun oleh lembaga-lembaga lain yang lebih rendah seperti Regering Kroon, Minister, Provinde dan Garneente yang masing-masing membentuk Algemene Maatre gel van Bestuur, Ministeriele Verordening, Pro vinciale Wetten, Gemeeteljkewetten, serta peraturan-peraturan lainnya yang mengikat umum (Aloemeeri Verbiridende Voorschnfteri). Jika pengertian wet diidentikan dengan Presiden dan DPR, baik secara formil maupun materil kurang tepat. Di Indonesia hanya dikenal istilah undang-undang saja yang diidentikan dengan wet. Dengan kata lain, undang-undang di Indonesia yang ditetapkan oleh presiden dan atas persetujuan DPR disebut setara muatan hukumnva baik secara formil maupun materil dan berlaku umum.
Hubungannya dengan undang-undang pokok tidak dikenal dalam sistem hukum Indonesia. Berdasarkan kepada UUD 1945 sebagai konstitusi negara Indonesia. Pasal 5 ayat (1) telah menggariskan bahwa semua undang-undang di Indonesia adalah undang-undang pokok yang kedudukannya setara, dan berada di bawah hierarki norma hukum dan konstitusi UUD 1945. Atas dasar itu, maka dapat dipahami bahwa Undang-undang Dasar (UUD) jelas berbeda dengan undang-undang. Hal ini dapat dilihat dalam sistem hukum Indonesia yang diatur dalam ketetapan MPR No.XX/MPRS/ 1966 sebagai berikut: UUD 1945, Tap MPR, UU, Perpu, PP, Kepres, Kepmen, Perda Tk. I, Perda Tk. II, dan seterusnya.
Di samping itu, berbagai jenis peraturan perundang-undanan di negara Indonesia dalam suatu tata susunan hierarki mengakibatkan pula adanya perbedaan fungsi maupun materi muatan berbagai jenis peraturan perundang-undangan tersebut. Secara umum fungsi dan undang-undang adalah: Pertama, menyelenggarakan pengaturan lebih lanjut tentang ketentuan dalam UUD 1945 secara tegas; Kedua, pengaturan lebih lanjut secara umum mengenai penjelasan dalam batang tubuh UUD 1945; Ketiga, pengaturan lebih lanjut mengenai Tap MPR; dan Keempat, pengaturan di bidang materi konstitusi.27 Sedangkan materi muatan undang-undang telah diperkenalkan oleh A. Hamid Attamimi dengan istilah het eigenaarding orderwerp der wet yang juga digunakan oleh Thorbecke dalam Aantekening op de Grondwet yang terjemaahannya sebagai berikut:
Grondwet meminjam pemahaman tentang wet hanyalah dan orang/badan hukum yang membentuknya. Grondwet membiarkan pertanyaan terbuka mengenai apa yang di negara kita harus ditetapkan dengan wet dan apa yang boleh ditetapkan dengan cara lain. Sebagaimana halnya dengan grondwet-grondwet lainnya, Grondwet (inipun) berdiam diri (untuk) merumuskan materi muatan yang khas bagi wet (het eigenaarding orderwerp der wet).
Apabila pendapat Thorbecke ini dipersamakan dengan UUD 1945, pandangan ini ada benarnya, karena UUD 1945 ditentukan mengenai siapa yang berhak membentuk undang-undang. Dalam pasal 5 ayat (1), yang menentukan adalah presiden memegang kekuasaan membentuk undang-undang dengan persetujuan DPR, dan materi muatan undang-undang sama sekali tidak disebutkan. Kendati demikian, para ahli hukum menyebutkan bahwa materi muatan undang-undang tidak dapat ditentukan ruang lingkup materinya mengingat semua undang-undang adalah perwujudan aspirasi rakyat (kedaulatan rakyat). Atas dasar itu, sesungguhnya semua materi muatan dapat menjadi undang-undang, kecuali jika undang-undang tidak berkenan mangatur atau menetapkannva.
Bila diteliti lebih seksama kekhasan undang-undang dan peraturan lainnya adalah undang-undang dibentuk dan ditetapkan oleh presiden dengan persetujuan DPR. Jadi. muatan materi hukum undang-undang akan menjadi pedoman bagi peraturan-peraturan lain di bawahnya. Adapun pedoman untuk mengetahui materi muatan undang-undang dapat ditentukan melalui tiga pedoman, yaitu: Pertama, dari ketentuan dalam Batang Tuhuh UUD 1945 terdapat sekitar 18 masalah (18 pasal) tentang hak-hak asasi manusia, pembagian kekuasaan negara, dan penetapan organisasi dan alat kelengkapan negara; Kedua, Berdasar wawasan negara berdasar atas hukum/rechtstaat) yang dimulai dan kekuasaan absolut negara (polizeistacit), terus pembentukan negara berdasar atas hukum yang sempit/liberal (rechtstaat sempit/liberal), berdasar atas hukum formal (rechtstaat formal), dan negara berdasar atas hukum material/sosial yang modern (rechtstaat material sosial); dan Ketiga, berdasar pada wawasan pemerintahan sistem konsitusional, di mana penyelenggaraan kekuasaan negara dan hukum serta yang lainnya harus mengacu pada norma dasar (ground norm) dan Undang-undang Dasar. Dengan kata lain, yang dimaksud adalah Pancasila dan UUD 1945. Dari rumusan-rumusan tersebut, dapat diambil gambaran konseptual bahwa kodifikasi hukum Islam menjadi sebuah undang-undang (takhrij al-ahkam fi al-nash al-taqnin) diharuskan mengikuti prosedur konstitusional dan sejalan dengan norma hukum serta cita hukum di Indonesia. Kodifikasi dan unifikasi hukum Islam serta penyusunan rancangan perundang-undangan yang baru diarahkan untuk terjaminnya kepastian hukum (law enforcement) di masyarakat.

Senin, 13 April 2009

Silent...........!!!

Sunday, 22 nd of December 2008
Emmmmmm……………
I feel empty……..
Nothing that I can see
Just a shadow seemly
All thing is nothing for me……..
All thousand word I couldn’t say

I just can be dumb really……
All of angel just look me strangely
I’m crazy……….
crazy of me….!!!

I’m doubtful…………….
To understand me and soul
I’m thinkful
How to understand me at all
I just wanna fall
And just wanna call……….
To stay here forever
Forever and ever……………


“Me”

Mimpi.......Q

Ketika aku butuh sesorang yang menemaniku…
Mimpi adalah teman sejatiku
Ketika aku ingin sandaran yang kokoh
Mimpi adalah benteng untukku
Tapi kadang mimpi enggan mendekatiku
Karena aku terlena dengan egoku
Mimpi bahkan menjauhiku
Karena aku mabuk dengan cintaku
Mimpi………
Mimpiku aku kehilanganmu
Mimpiku……….
Mana sayap-sayap putihmu??
Yang selalu q rindu dalam lelapku…..
Kau t’lah berjanji
Suatu saat nanti kau akan membawaku terbang bersamamu…….
Terbang bersama asa dan citaku……..
Mimpiku………….Apa kau mendengarku……??
Maafkan q mungkin kau kecewa pada q yang mengabaikanmu
Padahal q tau kau sangat berharga bagiku….
Mimpiku maafkan aku…….
Surabaya, 31 th of Desember 08'

MAHASISWA SEBAGAI “THE NEXT FOUNDING FATHERS”

Berangkat dari makna kata “Mahasiswa”, menurut bahasa kata ini berasal dari kata majemuk “Maha” dan “Siswa” yang berarti siswa yang sekolah di perguruan tinggi. Akan tetapi kalau ditinjau dari segi keilmuannya, mahasiswa dikenalsebagai kaum intelektual, menilik dari kata ”Kaum Intelektual” secara tidak langsung mahasiswa dapat dikatakan orang yang mempunyai ilmu yang mumpuni yang pastinya dapat diandalkan untuk kelangsungan masa depan masyarakat sosial nantinya, dalam artian mahasiswa merupakan tonggak kehidupan manusia in the next future.

Akan tetapi betapa mirisnya ketika melihat keadaan riil yang ada. Apakah mahasiswa pada zaman sekarang bisa dikatakan sebagai kaum intelektual yang benar-benar bisa menjadi harapan agama, bangsa dan negara. Ditinjau dari realita keadaan para mahasiswa yang dikatakan sebagai kaum intelektual, tidak sedikit mahasiswa yang terlibat dalam transaksi jual beli barang haram yang sangat terkenal dengan istilah NAPZA (Narkotika, Psikotropika, dan Zat Adiktif) yang secara telak sudah divonis oleh para medis atau bahkan kaum agamis sekalipun, bahwasanya barang ini sangat membahayakan, baik itu untuk kesehatan jasmani maupun rohani. Maka alangkah bodohnya orang yang dengan sengaja menjerumuskan dirinya kedalam lembah kenistaan, nista jasmani dan nista rohani. Bahkan bukan hanya berhenti dalam satu masalah ini, tidak sedikit mahasiswa yang terjerumus dalam pergaulan bebas (free sex). Kata-kata free sex tidak akan terlepas dari kata-kata AIDS. Gonta-ganti pasangan, gaya hidup sex yang tidak sehat, ataupun menggunakan jarum suntik secara bergantian yang biasanya digunakan para pecandu (junkies). Dari beberapa cara yang disebutkan ini bisa menularkan virus HIV yang mematikan yang sampai saat ini belum ditemukan obat yang bisa menyembuhkan. Tidak cukup sampai disini problem yang ditimbulkan oleh mahasiswa, perloncoan agama, pengrusakan dengan dalih unjuk rasa dalam rangka menyampaikan aspirasi masyarakat, dan seribu satu macam masalah lainnya yang tidak bisa kita sebutkan satu persatu dalam artikel ini.

Ketika kita bercermin dari banyak masalah yang ditimbulkan oleh mahasiswa ini apakah layak mahasiswa diberi gelar sebagai kaum intelektual atau bahkan seabagai agent of change. Ditinjau dari kebobrokan moral mereka, mahasiswa bukan memberikan perubahan yang berarti untuk masayrakatnya akan tetapi bahkan sebaliknya, kehancuran yang mereka sumbangkan untuk agama, bangsa dan negara. Lantas bagaimanakah mahasiswa yang bertnggungjawab akan tugasnya sebagai “tongkat estafet” bangsa? Apakah mahasiswa sadar akan tanggungjawab mereka? Apa yang akan mahasiswa sumbangkan kepada Ibu Pertiwi tercinta? Apa yang seharusnya mereka fikirkan terhadap problema masyarakatnya yang tanpa mereka sadari merupakan tanggungjawab mereka?Semua jawabannya sekarang ada dibenak masing-masing sebagai kaum intelektual yang beratanggung jawab sebagai mahasiswa yang dipercaya menyandang predika sebagai mahasiswa yang dipercaya moral force, agent of social control, avant garde, dan agent of change.

Yang pertama, Mahasiswa sebagai moral force (gerakan moral) berarti mahasiswa sebagai kaum cendikiawan yang berarti adalah kaum terpelajar senantiasa mengaplikasikan ilmu yang mereka miliki dengan memberikan contoh etika dan moral yang manusiawi kepada masyarakatnya. Karena itulah yang sebenarnya kita butuhkan sekarang , ketika melihat keadaan moral bangsa yang seamakin hari semakin bobrok, maka ini merupakn suatu kiniscayaan yang menjadi suatu kebutuhan priemer dalam membangun kembali keterpurukkan bangsa Indonesia. Meningkatnya rate of criminality coruptian, nepotism, collusion merupakan akibat dari moral bangsa Indonesia yang sudah tidak manusiawi. Yang memang pada hakikatnya keadaan bangasa kita yang seperti ini merupakan hambatan yang sangat merugikan bangsa Indonesia dalam upaya untuk come forward to be better (maju kedepan untuk lebih baik).

Yang kedua, mahasiswa adalah agent of social control (agen pengontrol sosial), mahasiswa sebagai kelas otonom dan independen yang mampu membaca kondisi masyarakat sekitar yang memang merupakan tanggung jawab mahasiswa. Salah satu bentuk wujud perhatian itu bisa dalam bentuk :

1. Dengan memiliki bekal kapasitas keilmuan yang memadai, mahasiswa harus menjadi middle class dalam upaya penyambung lidah masyarakat dalam menyampaikan aspirasi mereka kepada kaum elit (pemerintah) baik berupa aksi atau nonaksi. Aksi turun jalan yang sehat atau menulis artikel yang berisikan kritik membangun untuk pemerintah agar senantiasa memberikan perhatian lebih yang mungkin selama ini telah diacuhkan seperti masalah kemiskinan, pendidikan , pengangguran serta kesehatan.

2. Aktif dalam lembaga-lembaga sosial masyarakat yang senantiasa turun langsung dalam usaha pengentasan masalah-masalah kemiskinan, pengangguran, pendidikan dsb, seperti mengadakan bakti sosial, kelompok belajar atau pusat-pusat keterampilan.

Yang ketiga, mahasiswa adalah avant garde (garis terdepan), mahasiswa yang memang telah dipercaya sebagai kaum cendikiawan harus menjadi pemeran utama yang berada pada garis dapan untuk ikut andil dalam usaha mencapai impian para founding fathers kita untuk mewujudkan Indonesia untuk menjadi bangsa yang benar-benar menjadi bangsa yang dewasa baik itu dalam bidang iptek, ekonomi, kebudayaan, dan politik. Dalam hal ini yang harus kita fikirkan bersama sebagai mahasiswa adalah ilmu apa yang senantiasa yang dapat kita abdikan kepada masyarakat nantinya untuk mengangkat harkat dan martabat bangsa kita.

Dan yang terakhir, mahasiswa adalah agent of change (agen perubahan). Masa depan agama, bangsa dan negara adalah berada dalam genggaman kita. Maju dan mundurnya suatu bangsa adalah tergantung kemana kaum muda membawa nasib bangsa. Mahasiswa adalah harapan satu-satunya sebagai penerus para founding fathers yang telah hidup jauh beberapa tahun dibelakang kita. Harapan mereka mahasiswa dapat memberikan suatu perubahan yang berarti sesuai dengan harapan. Keterpurukkan bangsa dalam wujud krisis global yang sekarang kita hadapi adalah suatu keniscayaan dari suatu akibat dari kesalahan fatal yang telah dilakukan pada masa lalu, maka yang harus dilakukan mahasiswa sekarang adalah mengembalikan bangsa kita pada kehendak bersama yang berpegang pada nilai-nilai pancasila dan norma-norma yang telah lama dipegang oleh nenek moyang kita dengan didasari oleh sikap dewasa. The Next Founding Fathers, Let’s begin!! (Yuni Wulandari)